Alumni pesantren
adalan istilah yang disandangkan kepada seseorang yang pernah atau lama belajar
di pesantren, atau pengertian gampangnya adalah santri yang sudah keluar dari
pesantren. Santri yang sudah keluar dari pesantren memiliki alasan
masing-masing. Ada yang keluar dari pesantren untuk melanjutkan pendidikannya
ke lembaga pendidikan lain. Ada yang karluar dari pesantren karena tidak memiliki
biaya untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi di pesantren. Ada yang
keluar memang karena sudah dirasa selasai semua jenjang pendiidkan di
pesantren. Ada yang keluar karena tuntutan harus pulang karena dibutuhkan di
masyarakat.
Dari sekian alasan
tersebut, ada dua alasan terakhir yang perlu dibahas lebih dalam. Santri yang
keluar untuk melanjutkan ke pendidikan lain atau karena tidak ada biaya,
mungkin tidak terlalu singnifikan dibahas. Karena dalam hal yang akan dibahas
tentang alumni pesantren yang akan hidup di tengah-tengah masyarakat. Santri
yang berhenti karena sudah selesai semua jenjang pendidikan di pesantren atau
karena dibutuhkan di masyarakat, ketika menjadi alumni dan ingin bermasyarakat
rawan mengalami kegagalan yang membuat dirinya terpuruk.
Biasanya, alumni
pesantren yang sudah menyelesaikan semua jenjang pendidikan di pesantren,
merasa dirinya telah memiliki bekal yang cukup atau merasa sudah pantas
bermasyarakat, sehingga kadang tanpa ada banyak pertimbangan ketika ingin maju
tampil di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, ketika dia tampil di tengah
masyarakat, dia menagalami kesulitan yang amat parah atau sesuatu yang bisa
merusak nama baiknya bahkan bisa mencoreng nama baik pesantrennya.
Semisal, setelah
beberapa hari menjadi alumni, dia ingin mencalonkan sebagai kepala desa, atau
caleg, atau tokoh masyarakat. Dengan bekal yang sudah diperoleh di pesantren,
dia merasa pantas dengan percaya diri untuk tampil maju. Akhirnya, sesuatu
terjadi di luar rencana, dia tidak terpilih menjadi kepala desa atau caleg.
Seiring kegagalan itu, dia pun mendapat berbagai ocehan dari masyarakat.
Begitu juga menjadi
tokoh masyarakat, ketika dia tampil karena merasa layak dengan ilmu yang dia
miliki, dia membangun lembaga pendidikan atau menjadi penceramah di mana-mana,
ternyata tindakan dan isi ceramahnya tidak cocok dengan konidisi dan karakter
masyarakat. Akibatnya, keberadaan lembaganya tidak didukung oleh masyarakat,
dan isi ceramahnya tidak didengarkan dan diikuti, bahkan keberadaan dirinya
bagaikan sesuatu yang ada namun tidak dianggap ada.
Kenapa hal-hal
seperti di atas bisa terjadi? Padahal jika dilihat dari kemampuan dan
keilmuannya sudah dianggap bisa. Jawabannya, untuk tampil dimasyarakat tidak
hanya kemampuan dan keilmuan saja yang dibutuhkan. Ada hal lain yang jauh lebih
penting dan utama yang harus dijadikan pedoman dan diperhatikan. Pedoman
uatamanya adalah sambungan batin pada guru-guru di pesantren. Sesuatu yang
harus diperhatikan adalah harus bisa membedakan antara niat mulia dan ambisi.
Menjadi kepala desa
atau caleg yang tujuannya untuk mengabdi pada Negara dan masyarakat memang
mulia, apalagi menjadi tokoh masyarakat yang akan membimbing mereka ke jalan
yang baik. Semua itu memang sangat baik. Dalam bermasyarakat itu yang utama dan
pertama kita lakukan adalah melebur terlebih dahulu dengan mereka, guna mencari
kecocokan diri pada mereka. Sebesar apapun dan sealim siapapun, jika tidak
cocok kepada msayarakat, maka kemampuan dan kealiman itu tidak akan berguna
sama sekali. Sebaliknya, meskipun kemampuan dan keilmuannya hanya sekedar, tapi
cocok dengan masyarakat, sungguh itu sangat baik dan mulia.
Untuk bisa menjadi
seseorang yang cocok untuk masyarakat, tentu membutuhkan waktu yang tidak
sebentar, harus melalui proses yang cukup lama. Berbeda dengan alumni yang
memang dibutuhkan langsung di masyarakat. Semisal di rumahnya memiliki lembaga
pendidikan atau pesantren, yang menjadi pimpinannya atau pengasuhnya sudah
tidak ada dan tidak ada lagi penggantinya kecuali dia. Itu tidak menjadi masalah,
asal dia tidak berambisi dan tetap ada sambungan batin dengan para gurunya di
pesantren.
Konsep konkritnya, menjadi alumni pesantren yang bisa diterima dan
cocok di masyarakat mencakup tiga hal:
Pertama, harus melalui beberapa proses yang cukup lama. Idealnya tiga
tahun. Satu tahun untuk melebur dengan masyarakat. Tahun kedua untuk memahami
kondisi dan karakter masyarakat. Tahun ketiga, menentukan target dan mengatur
strategi yang jitu untuk tampil di masyarakat.
Kedua, tidak boleh ada ambisi. Hal ini sangat penting untuk dihindari,
bahkan harus dihilangkan ketika hendak bertindak maju di masyarakat. Sesuatu
yang dilakukan dengan semangat ambisi, hasilnya akan sia-sia bahkan bisa
menjadi malapetaka.
Ketiga, harus selalu menjaga keistiqahaman sambungan batin. Dalam hal ini
bisa dilakukan dengan banyak tawassul dan doa untuk guru-guru kita. Jika bisa
sambungan tali silaturrahim juga dilakukan dalam waktu tertentu, guna lebih
menguatkan sambungan batin kepada guru-guru di pesantren.
Ketiga hal di atas
sangat penting untuk dilakukan ketika kita menjadi alumni pesantren. Jangan
mengandalkan kemampuan dan keilmuan kita ketika ada di masyarakat, jika ingin
bisa diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, jangan pernah merasa kecil hati bagi
kita yang tidak memiliki kemampuan dan keilmuan yang menurut kita tidak mumpuni
ketika masyarakat mempercayai kita untuk maju tampil di tengah-tengah mereka,
jika kita tetap istiqamah menjaga tiga hal di atas.
Komentar
Posting Komentar
Pergunakan bahasa yang sopan.