Perbedaan
yang sangat mencolok antara orang-orang dulu dengan orang sekarang
(baca: ulama) adalah dari sisi keilmuannya. Jarang kita jumpai pada masa
lalu ulama yang hanya ahli (spesifik) satu bidang ilmu tertentu.
Kalaupun ada, spesifikasi tersebut lebih mengarah kepada ilmu yang
beliau geluti. Bukan berarti tidak menguasai ilmu-ilmu yang lain. Beda
halnya dengan sekarang, spesifikasi menunjukkan kepada keahlian
tertentu.
Taruhlah
contoh Imam Zakaria al-Anshary, seorang ulama yang dikenal ahli fiqh
dalam madzhab Syafi’i. Kitab-kitabnya dalam bidang fiqh menunjukkan,
bahwa ia seorang faqih yang tak perlu diragukan. Namun, bukan
berarti beliau hanya ahli dalam bidang fiqh, sementara nahwu, tafsir,
ushul fiqh, hadits, mantiq, dan lain-lain tidak beliau kuasai.
Karya-karyanya, seperti Syarkh Syuduru al-Dzahab (nahwu), Fath ar-Rahman (tafsir), Tuhfah al-Bary (hadits), Ghayah al-Wushul (ushul fiqh), Syarakh Isaghuji (mantiq) membuktikan betapa beliau ulama yang memiliki kualifikasi keilmuan dalam berbagai bidang.
Hal
ini berbeda jauh dengan masa sekarang. Bisa kita lihat pada seorang
dokter yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu, seperti halnya
dokter spesialis mata. Sangat tidak mungkin dokter spesialis mata
mengetahui secara detail gejala seorang pasien yang menderita penyakit
dalam (internis). Bahkan, bukan hal yang mustahil bila suatu saat
ada dokter spesialis mata kiri, sehingga sang dokter tidak bisa
mengobati pasien yang menderita penyakit mata kanan. Hal inilah yang
juga terjadi pada ulama-ulama sekarang yang memiliki spesifikasi
keilmuan tertentu, semisal nahwu. Tentu, ia akan merasa kesulitan
menyelesaikan persoalan seputar fikih, ushul fikih, tafsir, dan
semacamnya.
Kondisi semacam ini tentu tidak kita
harapkan. Oleh karenanya, selaku generasi muda atau kaum santri harus
menyiapkan diri sedini mungkin dengan menguasai berbagai disiplin ilmu,
seperti nahwu, sharraf, al-qur’an, fiqh, ushul fiqh, mantiq, dan
beberapa ilmu yang saling terkait dan saling mendukung. Bukankah para
ulama telah mempromosikan atau menganjurkan agar kita mempelajari supaya
menguasai berbagai bidang ilmu tersebut.
Nahwu
Nahwu merupakan suatu bidang ilmu (fan)
yang bisa mengantarkan seseorang mampu membaca sekaligus memahami
kandungan isi (pesan) al-Qur’an, Hadits, dan kitab kuning. Orang-orang
biasa menyebutnya dengan ilmu alat, alat untuk bisa membaca kitab. Ulama
nahwu telah lama berpesan agar ilmu ini yang harus dikuasai pertama
kali, mengingat sebuah pembicaraan tak akan dapat dipaham tanpa nahwu,
sebagaimana dalam sebuah nadham,
وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَا….. إذِ الْكَلاَمُ دونَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Sharraf
Selain
nahwu, sharraf juga harus dikuasai, mengingat ia merupakan gandengan
atau temannya nahwu. Bila nahwu lebih menitikberatkan pada permasalahan
atau pembahasan bacaan akhir kalimat, maka sharraf lebih kepada bacaan
di tengah atau di awal kalimat. Jadi, kedua-duanya saling melengkapi.
Oleh karenanya, tak salah bila terdapat sebuah ungkapan yang
mengibaratkan keduanya sebagai sebuah keluarga (suami-istri),
النَّحْوُ أَبُو الْعِلْمِ وَ الصَّرْفُ أُمُّهَا
Mantiq
Mantiq
tak ubahnya nahwu, di mana ia merupakan suatu ilmu yang bisa
mengajarkan seseorang untuk berfikir dengan logika yang rasional dan
benar. Dalam arti, alat yang bisa mengantarkan seseorang menarik sebuah
kesimpulan (konklusi) yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya,
ilmu ini haruslah dikuasai, karena dalam pandangan al-Ghazali, seseorang
yang tidak memahami mantiq, ilmunya tak dapat dipercaya,
أَنَّ مَنْ لاَ مَعْرِفَةَ بِالْمَنْطِقِ لاَ يُوْثَقُ بِعِلْمِهِ
Fikih
Fikih
adalah ilmu yang membahas dan mengatur hubungan manusia dengan manusia
yang lain dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Hendaknya semua orang
mengerti fiqih, mengingat ia dapat menjadi penunjuk jalan kebaikan.
Syekh Muhammad bin Hasan bin Abdillah sedari awal sudah mewanti-wanti
agar mempelajari fiqh karena terdapat hikmah yang sangat besar,
تَفَقَّهْ فَإِنَّ الْفِقْهَ أَفْضَلُ قَائِدِ إِلىَ البِرِّ وَالتَّقْوَى وَأَعْدَلُ قَاصِدِ
هُوَ الْعِلْمُ الْهَادِي إِلىَ سُنَنِ الْهُدَى هُوَ الْحِصْنُ يُنْجِي مِنْ جَمِيْعِ الشَّدَائِدِ
فَإِنَّ فَقِيْهًا وَاحِدًا مُتَوَّرِعًا أَشَدُّ عَلىَ الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدِ
Belajarlah fiqih, karena sesungguhnya fiqih sebaik-baik tuntunan dan selurus-lurus tujuan menuju kebaikan dan takwa
Ilmu fiqih dapat menjadi petunjuk, juga dapat menjadi benteng yang dapat menyelamatkan dari berbagai bencana
Karena
sesungguhnya orang yang ahli fiqih (faqih) lagi wara’ adalah lebih
berat bagi syetan dari pada seribu orang ahli ibadah (yang tidak paham
fiqih)
Al-Qur’an merupakan pedoman utama umat Islam, membacanya pun menjadi ibadah (dapat pahala). Nabi pernah bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Orang yang terbaik adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin menguasai al-Qur’an secara lafdan wa ma’nan, sebagaimana para imam-imam madzhab yang sudah menguasainya semenjak kecil.
Menjadi
santri ideal, dalam arti menguasai berbagai bidang ilmu sebagaimana
imam-imam terdahulu sulit terwujud jika tidak disertai dengan kemauan
dan kerja keras. Intinya, ada pada pribadi masing-masing sanggup
tidaknya melahirkan kembali imam-imam sekaliber al-Ghazali, Zakaria
al-Anshary, dan imam-imam yang lain di masa yang akan datang. Bukan hal
yang mustahil mencetak dirinya menjadi seorang ulama seperti mereka,
selama mampu mempraktikkan apa saja yang pernah dilakukan mereka selama
menuntut ilmu (nyantri). (Tinta Qana’ah)
Komentar
Posting Komentar
Pergunakan bahasa yang sopan.